TULISAN PERDANA UNTUK BANK SAMPAH KASTURI
PERSOALAN-PERSOALAN BANK SAMPAH
Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Bank Sampah adalah fenomena yang terbalik-balik. Lazimnya, orang-orang harus membayar sejumlah uang agar sampahnya bisa diangkut oleh petugas sampah. Ini sesuai dengan laporan persentase rumah tangga di Indonesia tahun 2017 yang mana sampah rumah tangga diangkut oleh petugas (23,3%). Angka tersebut nomor dua tertinggi, sesudah gaya penanganan sampah dengan cara dibakar (53%) (BPS, 2018). Agar sampahnya diambil oleh petugas, maka warga harus membayarnya. Petugas sampah tidak mungkin mengambil sampah rumah tangga warga begitu saja tanpa dibayar. Untuk membakar sampah, sebaliknya, warga tidak perlu mengeluarkan uang.
Dua cara pengelolaan sampah tersebut di atas (dibakar dan diangkut petugas sampah) menunjukkan bahwa sampah adalah barang atau benda yang dibuang karena sudah tidak terpakai lagi, sehingga harus dimusnahkan (dibakar) atau diselesaikan oleh pihak lain (diangkut oleh petugas sampah). Warga atau pihak yang memproduksi sampah, enggan untuk mengelolanya. Ini terjadi karena sampah dipersepsikan sebagai hal yang negatif.
Pada 2008 di Bantul Yogyakarta, lahirlah sebuah konsep yang membalikkan kelaziman yang ada. Konsep itu bernama Bank Sampah. Alih-alih membayar, bila menyetorkan sampah ke Bank Sampah maka warga akan mendapatkan sejumlah uang. Istilah menyetorkan sampah sejatinya hampir sama dengan membuangnya. Perbedaannya terletak pada perlakuan warga terhadap sampahnya. Bila warga hendak ‘menyetorkan’ sampah ke bank sampah, maka sampah itu harus dipilah berdasarkan jenisnya serta kondisinya harus bersih dan kering. Pemilahan berdasarkan jenis adalah karena harga sampah berbeda-beda berdasarkan jenisnya.
Sebaliknya, bila warga hanya ‘membuang’ sampah begitu saja maka warga tidak perlu memilah dan membersihkannya terlebih dahulu. Jadi pada hakekatnya, uang yang diperoleh warga (nasabah bank sampah) adalah biaya untuk memilah dan membersihkan sampah. Oleh petugas Bank Sampah, sampah-sampah yang terkumpul berdasarkan jenis itu kemudian disetorkan lagi ke pihak pabrik untuk diolah menjadi bahan baku. Inilah yang disebut prinsip ekonomi sirkuler, yang mana memproduksi suatu barang dengan menggunakan materi dari bahan yang sudah tidak terpakai lagi atau menggunakan bahan yang sudah ada.
Salah satu bank sampah yang menonjol di Kabupaten Sleman adalah Bank Sampah Kasturi. Lokasi Bank Sampah Kasturi adalah jalan Swadaya 4/124, RW 12, Dusun Karangasem, Kalurahan Caturtunggal, Kecamatan Depok, Sleman, DIY. Nama Kasturi berasal dari istilah minyak kasturi. Minyak kasturi ini merupakan bahan pembuatan parfum. Artinya minyak kasturi ini lumayan harum. Kasturi juga merujuk pada pohon, buah dan bunga Kasturi yang rasanya lezat serta mempunyai beberapa manfaat untuk memperkuat kesehatan kita.
Arti kata kasturi sesungguhnya paradoks dengan sampah yang selalu dipersepsikan aromanya busuk. Oleh karena kepiawaian Direktur Bank Sampah Kasturi, maka sampah yang dikelolanya tidak berbau busuk. Bahkan sampah yang dikelola justru menjadi berkah (barang yang bermanfaat, bisa untuk membeli emas batangan).
Bank sampah Kasturi sangat bersemangat melayani warga dalam bidang kebersihan. Semangat itulah yang menjadi ruh bagi visi Bank Sampah Kasturi, yakni mengusahakan wilayah RW 12 Karangasem menjadi tempat hunian yang nyaman, asri dan bebas dari sampah.
Adapun misi Bank Sampah Kasturi ada tiga yakni:
- Mengajak warga untuk dapat mengelola sampah dengan cara 3R (Reduce, Reuse and Recycle).
- Mengajak warga untuk dapat memilah sampah secara mandiri, sehingga mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi.
- Penataan lingkungan yang lebih nyaman dengan himbauan penanaman pohon di setiap halaman rumah.
Bank Sampah Kasturi tersebut berdiri pada 2014. Ketua bank sampah tersebut pada era 2014-2024 adalah Ibu Sri Asmaraning. Selanjutnya pada era sekarang (2014 – sekarang) adalah Ibu Ibnu (Ibu Ani). Perjuangan Bu Ibnu dalam mengelola Bank Sampah Kasturi sangat tidak mudah. Ini karena ada beberapa permasalahan, antara lain:
Ibu Ani, Direktur Bank Sampah Kasturi
- Sedikitnya warga yang bersedia dengan serius menjadi pengurus Bank Sampah Kasturi. Ini karena menjadi pengurus bank sampah tidak mendapatkan imbalan finansial yang memadai. Bahkan pada bank sampah lainnya, pengurus hanya mendapatkan imbalan non-finansial, misalnya: penghormatan dari warga. Konsekuensinya, Bu Ani harus menyandang berbagai jabatan, yakni Direktur Bank Sampah Kasturi, sekretaris, bendahara, bahkan menjadi tenaga operasional. Sungguh melelahkan menjadi Direktur Bank Sampah.
- Situasi kerja di bank sampah kadang kala tidak sehat. Ini karena para pengurus bank sampah kurang mampu bekerja secara bertanggungjawab. Tidak sedikit bank sampah yang mati suri karena pengurusnya melarikan uang hasil penjualan sampah. Ada juga pertikaian antar pengurus bank sampah hanya karena rasa tidak percaya dalam pengelolaan uang tabungan nasabah. Hal ini bisa dipahami karena mereka memang bukan petugas bank. Menjadi petugas bank sampah adalah pekerjaan sosial yang membutuhkan ‘panggilan’ hati nurani, bukan semata demi uang.
- Sedikitnya warga yang bersedia menjadi nasabah bank sampah. Ini terjadi karena warga enggan untuk memilah sampah berdasarkan jenisnya. Selain itu harga sampah yang ‘dijual’ ke bank sampah adalah rendah. Apalagi bila lokasi bank sampah jauh letaknya dari rumah. Artinya, ‘menjual’ sampah ke bank sampah adalah kegiatan yang tidak sesuai antara imbalan dan pengorbanan yang ditanggung oleh warga. Warga cenderung mengelola sampah dengan cara mudah yakni membakarnya atau meminta petugas untuk mengambil sampah.
Meskipun Bank Sampah Kasturi menghadapi berbagai persoalan pelik, namun Ibu Ani selaku Direktur, tetap setia melayani masyarakat. Ia sangat yakin bahwa kebaikan yang ia tanam di lingkungan tempat tinggalnya, akan membuahkan kebaikan bagi dirinya dan keluarganya.
Daftar Pustaka
BPS (2018). Laporan indeks perilaku ketidakpedulian lingkungan hiudp Indonesia 2018. Jakarta: Badan Pusat Statistik
Komentar
Posting Komentar